Tono dan Tino adalah saudara kembar. Tono adalah seorang nelayan di sebuah desa kecil. Terkadang ia juga mengantarkan para turis untuk menyeberangi sungai menggunakan perahu dayung miliknya. Perahu dayung itu adalah perahu warisan peninggalan dari ayahnya. Umurnya sudah sangat tua dan memprihatinkan. Sampai suatu ketika, perahu itu pun rusak parah dan akhirnya tenggelam. Sedangkan Si Tino, adalah buruh serabutan.
Kebetulan suatu hari istrinya si Tino meninggal bersamaan dengan hari tenggelamnya perahu dayung si Tono itu. Beberapa hari kemudian seorang wanita tua melihat Tono, dan secara tidak sengaja salah mengenalinya sebagai Tino yang kehilangan istrinya itu. Kata wanita itu kepada Tono:
“Saya turut sedih atas kehilangan anda. Anda pasti merasa sedih…”
Nah si Tono mengira bahwa wanita itu berbicara tentang perahu dayungnya itu. Tono pun menjawab:
“Sebenarnya sih saya bisa dibilang malah senang karena bisa menyingkirkannya. Dia sudah amat tua sekali bahkan sudah jelek dari pertama kalinya. Bagian bawahnya sudah lapuk dan berbau amis sekali. Bagian punggungnya pun sudah sangat jelek dan lubang di bagian depannya sudah sangat lebar. Setiap kali saya memakainya, lubangnya bertambah besar dan dia bocor tidak karuan. Saya kira yang mengakhirinya adalah ketika saya menyewakan dia kepada empat orang pemuda yang sedang bersenang-senang tempo hari. Saya sudah memperingatkan mereka bahwa dia sudah tidak enak dipakai, tapi mereka tetap memaksa untuk menggunakannya. Mereka berempat mencoba masuk ke dalam bersamaan dan akhirnya dia terbelah persis di tengah-tengah..”
Mendengar jawaban Tono, wanita tua itupun pingsan.