Negeri Pelangi Nelson Mandela

Menonton Invictus, seperti larut dalam sorak-sorai penonton dan penduduk Afrika Selatan saat merayakan kemenangan Springboks, tim rugby mereka, melawan tim Selandia Baru di final World Cup Championship tahun 1995.

Sebuah film yang luar biasa indah, berdasarkan buku karya John Carlin, Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Changed a Nation. Clint Eastwood, sang sutradara, mampu merajut bagian-bagian dari film ini menjadi tontonan yang tidak saja menarik, tidak membosankan, menggairahkan, namun juga inspiratif.

Inspirasi itu berasal dari seorang mantan presiden Afrika Selatan yang menjadi narapidana politik selama tiga puluh tahun. Seorang Nelson Mandela, yang diperankan oleh Morgan Freeman. Setelah terpilih menjadi presiden, Madiba, panggilan orang Afrika Selatan untuk Mandela,menghadapi negara yang masih tersekat-sekat perbedaan ras. Ia lalu berjuang agar negerinya tidak hancur karena berlanjutnya politik apartheid, dan aksi balas dendam penduduk asli Afrika terhadap warganegara kulit putih yang telah memperlakukan mereka dengan sangat tidak manusiawi.

Madiba ingin mewujudkan Afrika Selatan menjadi negeri pelangi. Negeri yang didukung oleh semua warganegaranya yang berbeda warna kulit, sehingga mereka dapat bekerja bersama membangun negeri. Tentu saja ia diprotes oleh hanpir semua orang di dekatnya, para staf kepresidenan, bahkan oleh anaknya sendiri. Namun ia tidak surut. Ia memasukkan empat pengawal presiden berkulit putih, yang dulu mengawal presiden de Klerk. Kepada kepala pengamanan presiden, ia mengatakan bahwa sekarang orang kulit putih merasa takut hidup mereka terancam, karena itu mari kita memberi kejutan kepada mereka, bahwa kita tidak sama dengan mereka.

Begitulah kira-kira. Ia tidak mengajarkan darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Ia tidak memanfaatkan perbedaan warna kulit untuk mengadu domba rakyatnya demi kepentingan politik atau mendapatkan kekuasaan. Ia terfokus pada bagaimana mengubah sikap apartheid rakyatnya, baik kulit hitam maupun kulit putih. Bukan dengan kekerasan, kawan. Tetapi dengan menghargai mereka. Sikap yang luar biasa setelah orang kulit putih memenjarakannya selama tiga puluh tahun.

Langkah cerdas Mandiba adalah menghapuskan apartheid melalui rugby. Ia percaya, olahraga adalah sebuah bahasa universal. Mayoritas anggota tim rugby Afrika Selatan ini terdiri dari orang kulit putih, dan muncul desakan agar anggota tim diganti dengan penduduk asli. Namun Mandiba tidak setuju dan justru memberi semangat kepada tim ini untuk maju terus, memenangkan Afrika. Ia datang ke stadion untuk menyapa mereka satu per satu. Ia memanggil kapten tim Springkboks, François Pienaar, yang diperankan oleh Matt Damon, untuk memberi inspirasi kepada tim-nya, dan memenangkan pertandingan. Mandiba “memerintahkan” tim Springboks mengajari anak-anak kulit hitam, bermain rugby. Sebuah pemandangan langka pada masa itu, kulit putih dan kulit hitam bermain bersama, larut dalam gelak tawa. Sekat itu mulai terbuka.

François Pienaar sangat terinspirasi dengan sikap Mandiba. Ia lalu mengajak tim-nya mengunjungi bekas penjara yang telah memenjarakan ribuan orang kulit hitam, termasuk Nelson Mandela. Ia tidak habis pikir, bagaimana orang yang dipenjarakan selama tiga puluh tahun oleh orang kulit putih di sel yang sempit, berbicara tentang pengampunan. Ini kian memicu rasa nasiolisme-nya yang ia tularkan pada teman-temannya satu tim. Ia juga memberikan empat tiket untuk menonton pertandingan final, untuk ayah, ibu, pacarnya, dan pembantu ibunya yang berkulit hitam. Ibu dan pembantu kulit hitamnya duduk berdampingan di stadion menonton pertandingan itu. Sebuah sekat lagi terbuka.

Kemenangan demi kemenangan diraih Springboks. Dan puncaknya pada final World Cup Champion tahun 1995. Semua penduduk Afrika Selatan menonton pertandingan itu. Kulit hitam, kulit putih, kulit berwarna. Mereka duduk bersama, mereka menari bersama di jalan-jalan saat merayakan kemenangan Springboks.

Sebenarnya, perayaan ini tidak sekadar perayaan kemenangan tim rugby mereka. Namun perayaan kemenangan Negeri Pelangi yang sedang berjuang menghapuskan apartheid.

Satu hal lagi yang perlu dicatat tentang Nelson Mandela. Ia mengampuni, namun tidak melupakan. Afrika Selatan memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi yang dibentuk pada tahun 1995. Semua korban pelanggaran HAM boleh datang dan memberikan testimoni kepada komisi ini. Selain melakukan investigasi, KKR juga memulihkan harga diri korban dan melakukan rehabilitasi. Semua pelaku kejahatan HAM, diproses tanpa pandang bulu, apakah warga negara biasa, polisi, maupun anggota partai yang berkuasa pada saat itu, yaitu African National Congress. Ada pelaku yang diberi amnesti, namun lebih banyak pula yang diproses secara hukum.

Saya bermimpi, suatu hari nanti, Indonesia akan memiliki seorang pemimpin yang inspiratif seperti Nelson Mandela. Berani melakukan hal yang benar meski mendapat tentangan dari berbagai pihak. Berani menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Berani menghargai perbedaan. Berani menyadari negeri kita adalah negeri plural dan multikultural. Berani mengungkap kebenaran dan berani bertindak.

Sebarkan yuk

Leave a Comment